Tuesday, August 15, 2006

Macarin Anjing--The Preview

(PROLOG)
“Kau tahu kan apa kata pepatah: semua pria bajingan dan semua wanita gila.”
Lipstick Jungle—Candace Bushnell

“Tidak!” sergah Florecita.

Tangannya berusaha melepaskan diri dari pelukan cowok itu. “Kita sudah membicarakan soal ini, bukan?”“Apa? Bahwa kau masih mencintai mantan suamimu?” Cowok itu—karena terlalu sering ngeliat Florecita didekati banyak cowok (impian cewek-cewek), Liberache sampai lupa siapa nama cowok yang sedang bicara ini—tertawa. “Demi Tuhan, Florecita. Dia bahkan tidak ingat pernah menikahimu. Dan perlukah kuingatkan, sekarang dia sudah punya kekasih baru? Istri baru, tepatnya.”

“Terus kenapa?”Liberache mengunyah potongan terakhir keping Taro-nya. Sungguh aneh berada di tengah-tengah pertengkaran dua orang yang sedang membahas cinta. Terlebih lagi karena nggak ada sangkut pautnya dengan pertengkaran mereka. Tapi nggak. Libby memutuskan untuk menikmatinya dan menganggapnya sebagai selingan, di sela-sela kegiatannya mengoles cairan kental dan berbau sengit bernama kuteks di atas permukaan kukunya. Cowok itu menatap Florecita tanpa mengatakan apa-apa dan dalam sekejap wajahnya mendekat, bermaksud untuk mencium Florecita.

“Kau tahu betapa aku sangat mencintaimu?” desisnya dengan suara serak.

Libby tersentak. Dia menggeram marah. Bukan karena Florecita begitu lemah dan menyerahkan dirinya begitu aja di pelukan cowok itu, tapi lantaran adegan ciumannya dipotong beberapa detik. Sensor, tentu aja.

“Yaaah, kok dipotong sih!” keluh Libby kecewa. Keluhan kesekian kalinya setelah sensor biiip-biiip di wawancara Eminem (penyensor itu harusnya tau, Eminem nggak ada apa-apanya tanpa kata-kata kotor), adegan yang diulang-ulang di videoklip Addicted (sepertinya aktivitas Enrique Iglesias dengan Mischa Barton kelewat aktif di videoklip itu), dan yang paling konyol adalah sensor kasar di majalah komik Nakayoshi. Mulut Lucia dan Kaito yang saling bersentuhan disensor dengan... BINTANG-BINTANG?!

For God’s Sake, it’s only a kiss!!! Dulu, pas jaman-jamannya komik Sailor Moon, nggak ada tuh sensor-sensoran norak kayak gini. Sebel! “Aku tidak tahu harus berkata apa...,” kata Florecita, yang entah kenapa bisa-bisanya terlihat sedih dan merasa bersalah. “Yeah, right.” Ujung bibirnya terangkat—ekspresi seringai khas Libby. “Aku nggak bakalan ngerasa berdosa kalo dicium cowok seganteng itu.”

Tapi Libby bisa apa? Florecita nggak bakalan mendengar komentar-komentar yang menghina intelegensi cewek itu—yah, mengingat dia penjual bunga, yang kemudian menjadi pembantu rumah tangga, harusnya Libby nggak terlalu berharap banyak padanya. Bukan karena nggak tega bikin Florecita sakit hati ato apa, tapi karena dia ada di televisi. Ya, bodoh banget kalo ada yang mengira Libby ada bersama mereka berdua di ruang tamu berperabotan mewah itu. Libby kan lagi nonton TV.
Tepatnya lagi nonton telenovela—Florecita Gadis Bunga.

(SATU)
“Ada pesona tersendiri yang dimiliki pria yang brengsek,” ujar seorang wanita kepadaku. “Jatuh cinta dengan pria macam begini bagaikan mengalami kejadian yang mendebarkan.”
Rahasia Membuat Pria Jatuh Cinta—Tracy Cabot, Ph.D.

Pernah denger istilah couch potato? Itu lho, yang maniak banget nonton TV. Orang yang disebut couch potato ciri-cirinya jelas banget. Televisi merupakan sentral dalam hidupnya, jadi apapun aktivitasnya pasti dilakukan di depan TV. Seperti sekarang, sambil nonton Florecita Gadis Bunga—telenovela gitu deh—Libby menyapukan kuas kuteks di jari-jari kakinya. Konon di dunia mode saat ini lagi tren bold colours—warna-warna terang. Makanya Libby nyobain kuteks baru dengan yang belum dipakenya seumur hidup: kuning. Yup, jari-jari kaki Libby sekarang nggak jauh beda sama biji-biji jagung, hanya aja ‘jagung’ yang ini warnanya jauh lebih ngejreng.

Libby hampir selesai dengan kuku-kuku tangan kanannya waktu handphonenya berbunyi. “Napa, Mi?” katanya tanpa basa-basi.

Tiga menit berikutnya, setelah mendengar cerita dari Miata, matanya langsung mengerjap-ngerjap kaget. “APA?!?! Ya, ya, kamu langsung ke rumahnya aja. Aku nyusul. Iya… Cerewet! Makanan kan? Iya, iya. Aku bawain deh. Maunya apa? Buset dah! Yo wis, jam tiga di rumah Bianca. Hemmm… Bye!”

Libby geleng-geleng kepala. Lagi-lagi masalah cinta, pikirnya. Heran, kalo tau bakal sering berantem dan nangis-nangisan, kok masih nekat, ya, pacaran?Libby melanjutkan acara kuteks-mengkuteks ke kuku-kuku jari tangannya yang satu lagi. Setelah kering Libby langsung siap-siap berangkat. Seremeh apapun masalahnya, kalo menyangkut salah satu dari dua sahabat baiknya: Miata dan Bianca, Libby merasa wajib untuk terlibat di dalamnya.

Yah, meskipun dengan sangat, sangat, sangaaaaaaaaaaaaat terpaksa ninggalin serial telenovela yang baru akan selesai setengah jam lagi. Baru beberapa langkah mendekati televisi, mo matiin TV sekaligus nyabut kabel antena di belakangnya (takut disambar petir), kakinya berhenti.

Libby langsung ngamuk-ngamuk, “Aduuuh, jangan kemakan omongannya, Flor. Dia itu udah punya cewek, inget kan yang dandanannya menor itu? Jangan mau diperdaya sama cowok yang bisanya ngomong bullshit doang—seganteng apapun dia. Jangan mau menjalin hubungan apapun sama cowok itu sebelum dia resmi mutusin pacarnya. Pokoknya jangan.

”Florecita menerima kecupan di tangannya dengan canggung, tapi senang.“Florecita goblok!” omel Libby, kemudian mematikan televisi.
* * *

Sekali liat orang-orang dengan gampang memastikan kalo Nariano termasuk kategori cowok bandel. Penampilan fisik Nariano kurang lebih sama dengan karakter utama di novel remaja; langsing, tinggi, putih pula. Jangan lupa juga seringai bandel yang setia tersaji di wajah tampan Nariano. Cewek-cewek yang mendengar suara Nariano yang berat dan serak—entah via telepon ato ketemu langsung dengan orangnya—dijamin langsung lemas, menggelepar-gelepar bahagia. Gayanya yang slengean adalah magnet kuat menarik perhatian cewek-cewek, apalagi dengan status Nariano sebagai anak geng motor yang demen banget touring. Nggak usah heran kalo pagi-pagi nelpon dia masih di rumah, eh malemnya ditelpon lagi Nariano and the gang udah ada di Puncak. Kadang-kadang kepikiran juga, nih anak kapan belajarnya sih, hampir tiap hari main mulu.
Sedang Bianca? Nggak sulit untuk jatuh cinta sama cewek seperti dia. Kecantikannya sangat klasik. Rambutnya panjang dan mengilap kayak iklan shampo, sepasang mata indah dengan bulu mata lentik, kulitnya putih—tapi nggak berkesan kalo orangnya seneng tinggal di rumah. Nggak kayak Libby, Bianca bertubuh langsing, proporsional dengan tinggi badannya yang semampai. Seperti kebanyakan cewek-cewek feminin, Bianca seneng banget dandan dan make baju-baju ber-frill dan ada pita-pitanya. Padahal nggak perlu, seandainya pun Bianca pake baju ‘alakadarnya’, dia tetep bisa bikin orang-orang menolehkan kepala, mengagumi dirinya.Jadi kebayang dong gimana jadinya kalo mereka dipasangkan? Kayak nyatuin air dan minyak. Kayak menduetkan Mariah Carey sama Marilyn Manson. Bener-bener nggak cocok. Plus, kalo dihitung-hitung, tambah hari ini berarti total Bianca-Nariano berantem tuh... hmm, ada kali, ya, sejuta kali.
“Gitu ceritanya, Libb…,” Bianca menyeka air matanya dengan lengan kausnya. Miata nawarin kotak tisu tapi ditolak. Dia juga menggeleng waktu Libby menyodorkan martabak mini. Libby bawa dua kotak—yang satu lagi udah mendekati ‘kepunahan’, hampir habis dilahap Miata. “Coba, aku kurang sabar apa sih sebagai ceweknya?”
Kurang waras, jawab Libby dalam hati. Dia masih nggak bisa ngertiin jalan pikiran Bianca yang masih aja berhubungan sama cowok sebrengsek Nariano. Jangan-jangan Bianca sadomasokis? Abis kayaknya dia seneng banget disakiti sama cowok itu.
Mata Libby tur singkat ke seluruh bagian kamar Bianca. Cantik dan bikin iri. Ide Bianca mendekorasi kamarnya bener-bener hebat; menggabungkan motif kupu-kupu dengan warna-warna khas cewek. Ranjang queen size dilapisi bedcover kupu-kupu aneka warna dan kain garis-garis mengikuti warna pelangi di bagian dalamnya. Sarung bantal dan gulingnya memakai kedua jenis kain itu. Dari bagian atas ranjang, menjuntai tirai tulle putih dengan untaian kupu-kupu biru muda dari bahan plastik ditempatkan tepat di tengah-tengahnya. Furniture di kamar itu pun sengaja dipilih yang berwarna pastel; pink pucat untuk tempat tidur dan side table-nya, broken white untuk lemari, meja rias dan meja belajar. Serasi banget dengan warna dindingnya yang berkesan kalem, abu-abu muda.
Libby kembali memusatkan perhatiannya ke Bianca yang sedang duduk di atas karpet dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Rambutnya awut-awutan (bahkan cewek kesurupan di The Exorcist pun masih inget buat sisiran), plus daster yang dipakenya hari ini adalah model terbaru dari rangkaian busana gembel 2006. Ck, ck, ck, Libby geleng-geleng kepala. Kalo Nariano ngeliat Bianca kayak gini, aku rasa tuh cowok pasti terheran-heran, kenapa baru mutusin dia sekarang.
“Aku udah berusaha ngertiin dia. Walopun cuma bisa ketemu seminggu sekali—karena hobi motornya dan acara entah apa dengan temen-temen segengnya—aku rela.” Bianca menarik lengan boneka beruang dan dipeluknya kuat-kuat. Libby mendengar Bianca menyusut ingusnya, yang teredam oleh boneka beruang yang menutupi wajahnya. “Makanya aku tetep nggak abis pikir, kok bisa-bisanya dia mutusin aku?”
“Nah itu dia yang juga pengen aku tanyain,” timpal Libby sinis. “Kenapa?”
Bianca merengut. “Hiiih, nih orang. Malah balik nanya lagi!”
Libby menarik Seventeen yang menyembul sedikit dari kolong tempat tidur lalu bangkit berdiri. Bianca nggak tau diuntung! pikir Libby gemes. Udah berbaik hati dipinjemin majalah, mbok ya diperlakukan dengan hormat. Eh, ini malah dibiarin berdebu-debu di kolong tempat tidur. Dia menghempaskan tubuhnya di kasur Bianca, yang sedikit memantul-mantulkan tubuhnya saat berada di atasnya.
“Abiiiis… siapa yang nggak heran, cewek bego kayak kamu malah diputusin. Sayang kan?”“Libby jahaaaaat…” Tangis Bianca makin keras. Aduh parah, deh, pokoknya. Kalo ngeliat Bianca nangis sampe menggerung-gerung kayak gitu, penderitaan Marshanda di Kisah Kasih di Sekolah jadi serasa digigit semut aja.
Miata nyubit lengan Libby dengen gemes.
“Aww!” jerit Libby sejadi-jadinya. “Sakit kali, Mi!”
“Kamu ke sini mo ngibur ato mo bikin Bianca tambah merana sih?” hardik Miata, nggak suka dengan omongan Libby barusan, terutama bagian ‘cewek bego’-nya. Tega banget! “Pengen Bianca ngeraung-raung seharian, hah?”
“Biarin aja. Rumah, rumah dia ini kok,” jawab Libby cuek bebek. Matanya terlanjur dipikat sama cowok seksi, Chris Evans, yang lagi berpose di salah satu halaman Seventeen. Kok aku baru tau ya ada cowok sekeren ini idup di muka bumi, pikir Libby sambil mengelus-elus foto Chris, serasa ngelus orangnya asli tuuuh.
Libby sebenarnya nggak serius sama omongannya yang ngebego-begoin Bianca tadi. Nggak sama sekali. Dia cuma kesel aja, lagi-lagi ketemu cewek yang bisa-bisanya diperdaya sama mahluk Mars—kata John Gray lho—bernama cowok. Tadi Florecita, sekarang Bianca. Sebel kan? Seumur hidup, Libby baru sekali ngerasain yang namanya pacaran. Itu pun dia anggap khilaf doang, dan nggak bakalan terulang lagi buat yang kedua kalinya. Abis, bagi seorang Libby, cowok itu ibarat setangkai mawar. Mereka cuma enak buat diliatin doang, dinikmatin tampangnya. Tapi ngeliatnya dari jauh aja, jangan pernah kepikiran buat deket sama mereka APALAGI sampe jatuh cinta sama mereka—kata Titiek Puspa itu ber-ba-ha-ya! Begitu kamu terpikat sama cowok, silakan tanggung sendiri kena duri-durinya.
Nggak tahan mendengar tangisan Bianca lebih lama lagi, cepat-cepat Libby memperbaiki situasi. Katanya, “Heh, Bi. Dari dulu-dulu aku juga udah bilang kan kalo Nariano itu brengsek. Koreksi, EGOIS dan brengsek! Dan begonya, kamu mau aja hanyut dalam permainan dia, ikut apa maunya, nurut apa yang dia suruh. Padahal kenyataannya? Nariano bahkan nggak peduli matamu bengkak kayak kodok gitu gara-gara nangisin dia.”
Seandainya situasinya nggak seserius ini, hampir aja Miata mengikik geli. Libby bener sih, karena kebanyakan nangis muka Bianca nggak jauh beda sama kodok. Apalagi matanya itu lho, jadi gede banget—kayak matanya… Aduh siapa tuh nama mahluk ijo aneh berkuping caplang di Star Wars? Yang juga panutan para Jedi? Ah ya, Yoda. Mata Bianca sekarang kayak cangkokan dari matanya Yoda. “Abis, gimana, Libb… aku sayang banget sama Nari…”
Correct! You got the point!” seru Libby penuh kemenangan. “Kata ‘banget’ itulah letak permasalahanmu sekarang ini. Kau terlalu sayang sama Si Nariano kupret itu sampe melupakan fakta kalo cowok itu nggak lebih dari bajingan egois yang seneng mempermainkan perasaan kita. Ingat Si Doggy?”
“Dogma, maksudmu?” tanya Miata, mengira Libby salah ngomong.
Libby langsung menyeringai jijik.
“Oh, please… Jangan sebut dia dengan nama aslinya. Kebagusan,” kata Libby sambil mengibas-ngibaskan tangannya seakan ada yang bau di sekitarnya. “Dia emang pantes dipanggil Doggy karena kelakuannya emang nggak jauh-jauh dari anjing yang suka berburu betina ke mana-mana. Hehhh!”